Selasa, 16 September 2014

Topeng Menyingkap Karakter Manusia Dan Sejarah Masyarakat

Kiriman: Kadek Suartaya, SSKar., Msi, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar.

Pertunjukan dengan mengenakan topeng merupakan seni pentas tertua di jagat ini. Hampir setiap bangsa di berbagai pelosok dunia mempunyai  benda seni penutup wajah dalam berbagai wujud dan watak. Kiranya hingga kini pun topeng-topeng itu masih menjadi bagian tradisi atau ekpresi estetik masyarakat manusia. Bahkan pada masyarakat yang masih lekat dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, topeng bukan hanya dipandang sebagai sekedar penutup wajah namun dianggap memiliki kekuatan magis. Sedangkan keberadaan topeng pada masyarakat modern selain tetap diusung sebagai benda seni juga dikembangkan sebagai bentuk seni pertunjukan tari atau teater.

Masyarakat bhineka Indonesia memiliki beragam seni tari dan teater yang dalam penampilannya mengenakan topeng. Masyarakat suku Dayak di Kalimantan mewarisi topeng Hudoq yang biasanya hadir sebagai seni sakral dalam ritual keagamaan mohon kesuburan atau syukuran atas panen yang melimpah. Masyarakat desa Trunyan di tepi danau Batur, Bangli, hingga kini juga mengeramatkan pantomime bertopeng yang disebut Barong Berutuk. Teater menggunakan topeng berwajah primitip yang terbuat dari batok kelapa ini merupakan ritual mohon kesuburan. Selain tari topeng untuk mohon kesuburan, topeng di tengah masyarakat Nusantara umumnya dipakai sebagai perantara berhubungan dengan arwah nenek moyang seperti masih terlihat jejak-jejaknya kini pada suku Batak (Sumatera Utara), masyarakat Tolage-Alfur (Sulawesi Tengah), dan suku-suku di pedalaman Papua.

Topeng sebagai seni pertunjukan berkembang subur di Jawa dan Bali. Di pulau Jawa, tari dengan mengenakan topeng sudah dikenal sejak jaman Majapahit. Raja Brawijaya masyur sebagai penari topeng yang piawai. Demikian pula di Bali, tari atau teater dengan mengenakan topeng sudah berkembang pada abad ke-16-17, zaman kejayaan kerajaan Bali. Catatan-catatan tua berupa prasasti atau lontar juga telah menyinggung tentang adanya tari topeng atau kelompok pemain topeng. Batu bertulis Jaha yang ditemukan di pulau Jawa pada tahun 840 Masehi menyebutkan tentang atapukan yang artinya topeng. Di Bali, prasasti Bebetin 896 Masehi juga menyebutkan adanya partapukan yang artinya perkumpulan penari topeng.

Jawa dan Bali adalah dua wilayah budaya di Indonesia yang kaya dengan ekspresi seni tari dan teater yang menggunakan topeng. Di pulau Jawa, wilayah budaya Parahyangan memiliki seni tari dan teater bertopeng yang sangat khas. Masyarakat Sunda di Cirebon dikenal sebagai pewaris seni pertunjukan topeng yang tetap eksis hingga kini. Keberadaan topeng Cirebon patut diketengahkan sebab, menurut pakar tari Jawa, Edi Sedyawati, topeng Cirebon adalah mata air pertumbuhan dari tari-tarian Sunda yang kita kenal sekarang. Di Cirebon dan sekitarnya, tari topeng masih dapat disimak dalam upacara syukuran yang berkaitan dengan budaya pertanian dan perayaaan kebahagiaan perkawinan.

Pada awalnya, topeng Cirebon adalah media untuk menghormati arwah nenek moyang. Dalam perkembangannya, topeng ritual ini mendapat mengayoman kaum bangsawan. Pada masa Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam, Sultan Cirebon Sunan  Gunung Jati bekerja sama dengan Sunan Kalijaga memanfaatkan tari topeng sebagai media komunikasi dalam penyebaran agama. Begitu kuat dan luasnya pengaruh tari topeng sebagai alat siar agama Islam di tanah Pasundan pada masa lalu, hingga memitoskan Sunan Kalijaga sebagai pencipta tari topeng Cirebon. Hingga kini, penghormatan pada Sunan Kalijaga sebagai pencipta tari topeng masih dianut takzim oleh seniman topeng Cirebon.

Topeng Cirebon berorientasi dari cerita Panji, kisah kepahlawan raja-raja Jawa yang banyak dijadikan tema dalam seni pertunjukan tradisi, bukan hanya di Jawa dan Bali tapi juga di beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand. Di Negeri Gajah Putih, tokoh protagonis cerita Panji yaitu Inu Kertapati disebut dengan Inao. Di Bali, cerita Panji menjadi tema utama dari drama tari Gambuh, teater klasik sumber tari Bali. Opera Arja yang kini kian sayup tembangnya juga mengacu pada cerita Panji. Teater rakyat Drama Gong  pada masa kejayaaan tahun 1970-1980-an juga mengharubiru penonton dengan kisah romantis dan heriok Raden Inu Kertapati dengan kekasihnya Putri Candrakirana. Dalam topeng Cirebon, cerita Panji itu dituangkan dalam bentuk penonjolan seni tari seperti yang terlihat dalam Topeng Babakan dan secara naratif dalam Topeng Dalang atau Wayang Topeng.

Topeng Babakan yang hanya menyajikan potongan-potongan dari cerita Panji, lebih merupakan penampilan simbol-simbol kehidupan manusia lewat karakter 5-8 topeng. Diawali dengan penampilan Topeng Panji menggambarkan watak manusia yang arif, bijaksana dan rendah hati. Kemudian, Topeng Samba menggambarkan watak manusia yang suka hura-hura dan penuh canda. Topeng Tumenggung menggambarkan watak ksatria yang gagah berani dan percaya diri. Topeng Kalana menggambarkan sifat manusia yang tamak dan Topeng Rumyang melambangkan sifat ketakwaaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain kelima tokoh itu ada pula tokoh Aki-aki dan Kedok Cina. Seluruh topeng-topeng itu dibawakan oleh seorang penari seperti Topeng Pajegan di Bali. Dulu masyarakat pecinta tari topeng di Jawa Barat mengenal dua maestro seni pertunjukan ini, yakni Mimi Sawitri dan Mimi Rasinah kini telah tiada.

Masyarakat Bali memiliki beberapa bentuk seni pertunjukan bertopeng. Namun yang lazim disebut topeng adalah adalah seni pentas ritual Topeng Pajegan. Pertunjukan topeng yang umumnya dibawakan secara solo oleh seorang penari ini tidak hanya hadir dalam prosesi keagamaan di halaman utama pura namun juga  berfungsi dalam upacara perkawinan, potong gigi, hingga ritus ngaben. Tema-tema kisah yang dibawakan bersumber dari babad, cerita semi sejarah, dengan puncak penampilan figur topeng berkarakter angker yang disebut Sidakarya.

            Seni pertunjukan Wayang Wong,  Barong Kedingkling, dan Barong Berutuk misalnya, juga memakai tapel tapi tak pernah disebut sebagai topeng. Wayang Wong yang berangkat dari sumber epos Ramayana seluruh pemerannya memakai tapel atau topeng. Barong Kedingkling yang biasanya hadir dalam tradisi ngelawang mempergunakan tapel figur-figur penting Ramayana. Begitu juga Barong Berutuk yang disakralkan di Desa Trunyan, Bangli, semua perannya menggunakan topeng bernuansa primitif. Namun ketiganya tak disebut seni pertunjukan topeng.  Rangda dan tari Jauk juga tidak digolongkan genre topeng.

            Seni pertunjukan bertopeng tergolong sangat tua dan hampir dapat dijumpai di seluruh dunia. Di Bali, kesenian yang diduga berkaitan dengan topeng termuat dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun 869 Masehi. Dalam prasasti itu disinggung istilah partapukan yang artinya perkumpulan topeng. Sedangkan bagaimana bentuk dan apa lakonnya tidak jelas. Pertunjukan topeng diduga merupakan kreativitas seniman Bali yang bukan pengaruh kesenian Majapahit. Pada mulanya kesenian ini muncul pada era kejayaan Gelgel,  akhir abad ke-17. Konon I Gusti Pering Jelantik membawakan drama tari seorang diri dengan memakai topeng rampasan leluhurnya, Patih Jelantik, ketika Gelgel menaklukkan  Blambangan. Saat konflik politik mengguncang Gelgel, topeng-topeng itu diboyong ke Desa Blahbatuh sekitar tahun 1879 yang hinggi kini dikeramatkan di Pura Penataran Topeng.

            Pada tahun-tahun berikutnya, setelah pementasan di puri Gelgel tersebut, penampilan Topeng Pajegan itu kemudian menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat Bali, terutama ditradisikan saat prosesi keagamaan, odalan misalnya. Perkembangannya kemudian muncul Topeng Panca, drama tari topeng yang dibawakan oleh lima orang penari yang lebih mengarah sebagai seni pentas tontonan non ritual. Perkembangan ini bukannya membuat Topeng Pajegan surut, justru seni pentas ini kian multifungsi dalam beragam tingkatan dan hirarki upacara agama dan ritus kehidupan masyarakatnya.

            Pementasan Topeng Pajegan dimulai dengan penampilan tokoh yang berkarakter keras. Warna tapel-nya gelap kemerah-merahan, mata mendelik dan disertai sepasang kumis hitam tebal. Gerakannnya tangkas, gagah dengan ayunan langkah berwibawa. Sehabis tokoh ini, biasanya disambung dengan kemunculan topeng yang berkarakter tua renta. Rambut, alis, dan kumisnya memutih. Gerakannya lambat terbata-bata namun menampilkan sorot mata yang arif. Kedua figur ini disebut dengan topeng pengelembar, tari lepas, arena tempat pemain mempertontonkan kepiawaannya menari.

            Aspek dramatik sebuah pementasan Topeng Pajegan baru bergulir ketika muncul tokoh penasar yang lazim memakai tapel setengah terbuka, terutama pada mulut dan matanya. Penasar bertindak selaku narator, komentator, penterjemah, dan pelawak. Tokoh inilah yang mengendalikan alur cerita. Ketika ia kemudian berganti topeng berwatak tampan dengan tata gerakan alus penuh perhitungan, tokoh rajalah yang dibawakannya yang sering disebut topeng dalem atau arsawijaya. Kehadiran topeng dengan ekspresi karismatis ini memberikan perintah sesuatu, mungkin perang dan mungkin perdamaian.

Sumber : www.isi-dps.ac.id
Diunggah oleh :Halimi,SE,MM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar